Laman

Selasa, 24 Februari 2015

Pasar Baru, Sensasi Tak Tergantikan



Kesan pertama yang terasa sejak melangkahkan kaki di bawah gapura Pasar Baru adalah seperti berada di tempat bernuansa Tiongkok. Entah kenapa. Mungkin karena bentuk gapura utamanya yang demikian itu, lengkap dengan warna merah khas imlek.
            Sesungguhnya Pasar Baru memilik pola yang mirip dengan pasar Malioboro Yogyakarta. Sama-sama memiliki dua sisi sebagai lapak dagangan. Bedanya, di Malioboro, kedua sisi itu dipisahkan oleh Jalan Malioboro yang dapat dilalui kendaraan umum. Akses pembeli berada di emperan toko, berjejalan dengan para pedagang.
Sedangkan di Pasar Baru, tak ada jalan raya sebagaimana di Malioboro. Justru jalan itu merupakan akses utama bagi pejalan kaki. Selain itu, ada atap kanopi yang tinggi menjulang, membujur dari gapura depan sampai belakang sepanjang kira-kira 2km. Sayangnya, atap itu hanya bisa melindungi pengunjung dari terik matahari, tapi tak bisa melindungi dari basah saat hujan turun.
            Sebagaimana di Malioboro, barang yang dijual di Pasar Baru pun beragam. Mulai dari jajanan kaki lima hingga karpet mahal ada di sana. Tentunya masih ada sesi tawar-menawar, tergantung ketentuan penjualnya. Bila beruntung, Anda bisa menjadi member atau langganan yang berkesempatan mendapatkan potongan harga.
            Pasar Baru terletak di Jakarta Pusat. Ada sensasi tak tergantikan saat berada di dalamnya. Di mana kesan Jakarta yang modern berpadu dengan pasar tradisional tapi tak kampungan. Jangan lupa untuk menyempatkan diri mampir ke Pasar Baru bila Anda sedang berada di Jakarta. Akses menuju Pasar Baru terbilang mudah. Ada bus City Tour yang akan langsung mengantar Anda ke depan Pasar Baru secara gratis. Tapi bila Anda menggunakan bus Transjakarta, turunlah di Halte Pasar Baru yang tepat berhadapan dengan Gedung Kesenian Jakarta.

Selasa, 10 Februari 2015

Menjadi Tangguh dengan Terbiasa Kehilangan


T, tak selamanya hidup berjalan sesuai dengan apa yang kita bayangkan. Kadang ia begitu halus, tak jarang ia berubah garang. Ia bisa memberikan banyak hal yang kita impikan, pun seketika bisa merenggut yang kita dekap. Benar apa yang dikatakan oleh orang-orang itu. Apalah artinya memiliki jika bahkan diri ini pun bukan milik kita.

Lalu kita tersadar, bahwa hidup hanyalah sekumpulan episode yang berujung pada rasa kehilangan. Itu hanya sebuah rasa, artinya kita tak benar-benar kehilangan. Kita tak memiliki apapun, kecuali rasa syukur. Itupun hanya bisa kita dapatkan jika diupayakan. Maka, bisa kau bayangkan betapa banyak orang yang sesungguhnya menjalani ilusi. Mereka merasa memiliki sesuatu yang tak bisa mereka kuasai. Mereka menguasai hal-hal yang tak pernah bisa mereka miliki.

Hidup ini semu. Ibarat terkurung dalam rumah kaca, saat hujan embun menyelubungi mata, dan ketika panas kita tersilaukan oleh cahaya. Kita ini buta, bila tak dikaruniai hati. Kita ini bodoh, jika tanpa ilmu. Kita sulit menerima hal-hal yang di luar nalar. Seringkali hidup membolak-balikkan kenyataan. Lantas kita pun bertanya, mana yang benar mana yang salah?

Saat hidup sedang tak berpihak, kita menghujat. Siapa yang sesungguhnya kita hujat? T, hidup adalah sebuah ruang tak bersekat, tak pula bertiang penyangga. Kita berdiri di antara langit dan bumi. Kita butuh pegangan. Maka sebaik-baik pegangan adalah rasa percaya kepada Tuhan.

Al-'Anfāl:70. "Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu".

Entah sesuatu itu baik atau buruk,  setidaknya kita meyakini bahwa Tuhan itu Maha Baik. Tuhan adalah titik pusat segala kebaikan dan kebenaran. Tuhan itu benar, Tuhan itu baik. Dari titik itu kita bisa melihat, membandingkan, dan memutuskan.