Laman

Sabtu, 18 Oktober 2014

How to "Enjoy Jakarta"

Satu kata yang masih sangat relevan untuk menggambarkan Jakarta, Ibukota Indonesia yaitu macet. Bagaimana masyarakat memandang kemacetan di sebuah kota, tentu saja ini juga tergantung pada perspektif perorangan. Yang jelas kemacetan telah menjadi rutinitas warganya. Entah itu rutinitas masalah atau rutinitas proses kreatif.

Saat melihat kemacetan sebagai masalah, hal yang kemudian terpikirkan adalah solusi. Meskipun belum final, telah ada beberapa jalan keluar yang ditawarkan pada Jakarta baik oleh pemerintah maupun pihak ketiga (inisiatif masyarakat) di antaranya Bus Transjakarta, Kereta Commuterline, Sistem 3in1, Komunitas Nebengers, dan MRT (dalam proses). Semua itu sudah dijalankan dan hasilnya? Memang belum sempurna, tapi cukup membantu untuk sementara.

Kebelumfinalan itu dikarenakan solusi-solusi yang ada belum bisa sepenuhnya mencabut akar masalah. Orang awam tahu bahwa permasalahan utama kemacetan di Jakarta adalah tidak sebandingnya volume kendaraan dengan volume jalan. Dalam satu periode waktu banyak orang berjalan melalui rute bahkan menuju lokasi yang sama. Bila diperhatikan, beberapa solusi yang telah dan sedang dilakukan di atas tujuannya sama yaitu meminimalisir penggunaan kendaraan pribadi dan menggantikannya dengan alat transportasi massal yang nyaman dan lebih ekonomis.

Ada beragam jenis kendaraan umum di jalanan Jakarta: bajaj, mikrolet, metromini, bus ¾, kopaja, kopami, bus Mayasari, APTB, transjakarta, commuterline. Sejenak terlintas dalam benak, sedemikian banyak jenis dan jumlah armada umum apakah semuanya “laku”? Jawabannya: ya! Itu karena tiap armada punya rute, spesifikasi, dan kualitas layanan yang berbeda. Diperlukan kejelian agar tak salah pilih angkutan. Biasanya, tingkat kenyamanan berbanding lurus dengan harga.

Kita ambil satu sampel di Terminal bayangan Bekasi Timur. Di antara berbagai jenis bus yang melintas di sana, ada salah satu angkutan umum yang tampilan fisiknya sangat kontras yaitu Bus 3 Prapat (3/4) dengan rute Pulogadung-Karawang-Cikarang-Cirebon. Selintas pandang bus ini mirip dengan metromini lantaran sama-sama berwarna oranye. Tapi ada ciri yang bisa diingat bahwa metromini memiliki nomor rute, sedangkan bus ¾ tidak pakai rute serta ukurannya sedikit lebih besar dari metromini.

Bus ¾ didominasi oleh sopir-sopir Batak. Ada kesan kumuh yang pasti membuat para calon penumpang gamang untuk naik. Jangan bayangkan suasana sejuk saat menaiki bus ini. Selain tanpa pendingin ruangan, pintu, jendela dan kursi justru berkarat di sana-sini. Sekilas memang seperti diskriminasi. Tapi saat kembali pada persoalan kualitas layanan, hal itu menjadi wajar. Keuntungan menaiki bus ini di antaranya harga yang murah yaitu Rp4000, dan hemat waktu karena di balik bahaya ugal-ugalan para sopirnya ada peluang besar untuk sampai di tujuan lebih cepat.

Lalu adakah kemacetan Jakarta sebagai rutinitas proses kreatif? Sangat ada. Coba dengarkan salah satu lagu Banda Neira berjudul Senja di Jakarta. Mendengarkan lagu ini, rasanya seperti sedang berusaha mengikhlaskan kemacetan dan justru menikmatinya sebagai rutinitas khas Jakarta. Tak ada penghakiman apalagi rasa kesal. Toh, Jakarta hanyalah objek. Apa yang kini terjadi pada Jakarta sangat bergantung pada apa yang dilakukan warganya.  Sekaligus ini juga menjadi sindiran atas tagline “Enjoy Jakarta”. Bagaimana sebetulnya makna dari ajakan “nikmati Jakarta”, Banda Neira membantu menjelaskan lewat lagu ini.

Berikut ini liriknya
Bersepeda di kala senja. Mengejar mentari tenggelam. Hangat jingga temani rasa. Nikmati Jakarta. Bersepeda keliling kota. Kanan kiri ramai jalanan. Arungi lautan kendaraan. Maafkan Jakarta. Nikmati jalan di Jakarta. Bersepeda sepulang kerja. Kenyang hirup asap kopaja. Klakson kanan kiri berbalasan. Senja di Jakarta.