Laman

Minggu, 27 Juli 2014

Memuseumkan Museumkah Kita?

Kecurigaan saya mencuat saat membaca pengakuan jujur Karina Lin mengenai pengetahuan minimnya atas kota kelahiran di kolom opini berjudul “Stagnasi Pariwisata Kota Kita”. Bagaimana jika ternyata hal serupa terjadi juga pada banyak warga Lampung yang lain. Lahir dan besar di sini, tapi mendadak ‘malu’ menjawab destinasi wisata apa saja yang cukup prestise disebutkan saat ada teman yang akan berkunjung ke Lampung.
Ada memang yang ketenarannya sudah sampai ke pulau Jawa sana. Sebutlah Teluk Kiluan yang bangga dengan Dolphinnya. Sayangnya, lokasinya jauh dari pusat kota dan akses yang memprihatinkan pula. Hal itu mungkin bisa menarik wisatawan untuk hadir. Tapi bisakah menjamin mereka tak menyesal dan menyimpan kesan buruk hingga tak lagi mau datang.
Tentu, pengetahuan memang sangat mungkin ditemukan bila dicari. Hanya saja, berlebihankah jika saya katakan bahwa promosi budaya dan wisata lokal oleh pemerintah terutama sektor pariwisata di kota ini terbilang minim? Ingatan saya melompat pada kunjungan bersama rombongan SDN 4 Pardasuka ke museum negeri Lampung beberapa hari lalu. Melihat kebahagiaan di wajah para siswa SD yang baru pertama kali masuk ke dalam museum membuat saya berharap semoga saja kunjungan itu hanya perkara “wrong timing”. Saat di mana pihak pengelola memang bukan sedang dalam agenda konservasi.
Memasuki gedung megah dua lantai yang bernama Museum Ruwa Jurai itu, pengunjung yang tak didampingi pemandu akan langsung tertarik untuk naik ke lantai dua melalui tangga yang ada. Di sayap kanan ini, sebuah blok berisi sampan atau perahu kecil dipajang di tengah ruangan. Ukurannya cukup besar untuk menarik perhatian. Di badannya ada beberapa gerabah keperluan hidup sehari-hari. Juga sebuah patung kecil menyerupai manusia yang sedang duduk melaut. Sangat disayangkan, ketika didekati lebih rekat, benda itu tampak berdebu dengan sawang yang kentara seolah merupakan garnis yang sengaja dipajang untuk juga dipamerkan. Posisinya yang tepat di tengah ruangan di mana pusat cahaya berada, menjadikan debu yang tak sekadar kesan itu bisa terlihat jelas.
Beranjak dari benda itu, saya berjalan melihat koleksi dinding beretalase yang antara lain berisi koleksi kain tenun dan pakaian pengantin khas Lampung. Rasa tak nyaman tadi saya coba lupakan dengan memperhatikan etalase dinding yang dipajang mengitari seluruh ruangan lantai dua. Tapi justru perasaan miris muncul saat mendapati kainkain tenun tak lagi berwarna cerah, atau memang dasarnya sudah berwarna kusam sejak awal?
Ketaknyamanan mata yang bermula dari perahu tadi makin menjadi saat kemudian saya turun melihat koleksi lain di ruang sebelah kiri lantai satu. Tak hanya debu dan sawang, kayu juga mulai tampak rapuh dengan bubuk yang bertabur di antara koleksi hewan-hewan awetan dalam ruang kaca. Tiga hal tadi membuat saya berpikir sedang ada di museum atau gudang. Saya membayangkan, jika kondisi seperti itu dibiarkan dalam 5-10 tahun ke depan, akankah museum ini masih punya koleksi yang sama.
Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa Museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa (http://elib.unikom.ac.id/).
Apabila koleksi yang ada di museum hanya disimpan tanpa dirawat, bagaimana mungkin pemanfaatannya bisa dilakukan. Jika sudah seperti itu kondisinya, ke mana lagi harus menyimpan benda-benda lawas seperti misalnya naskah-naskah kuno yang baru dipulangkan dari Leiden misalnya. Jangan salahkan warga jika tak rela naskahnya diambil alih pemerintah.
Tentu dengan tidak menafikan hal positif yang telah diupayakan oleh pihak pengelola Museum Ruwa Jurai di antaranya membuat Katalog Topeng Lampung, serta mencetak dan membagikan hasil penelitian berupa transkrip dan transliterasi Buku Kulit Kayu. Saya yakin pihak pengelola museum jauh lebih tahu tindakan apa saja yang seharusnya mereka lakukan.


Sebagai masyarakat, saya hanya mengamati kemudian menyampaikan apa yang sekiranya janggal dan membahayakan peradaban budaya Lampung khususnya. Kecuali bila provinsi ini rela Museum Ruwa Jurai menjadi “benda museum” yang memang sudah langka dan berangsur hanya pantas sebagai pajangan di kota Bandar Lampung karena kondisi koleksi yang tak terawat secara maksimal.