Laman

Selasa, 29 April 2014

Saat mengendarai sebuah sepeda yang remnya tak berfungsi, apakah kepanikan dan teriakan yang kita lakukan sepanjang sepeda menggelinding di jalanan yang menurun bisa membuat roda berhenti? Tenanglah, dan jangan bayangkan apa yang belum terjadi selama sepeda terus melaju. Kita hanya perlu tenang dengan sesegera mungkin membelokkan sepeda ke arah tanjakan.

Lemari

Pagi masih terlalu dini. Beberapa angin bahkan baru keluar dari pepatnya. Tak ada yang mampu bersuara selain sunyi, hati. Di balik kekemrungsungan yang terinjak-injak oleh waktu, setiap apa yang muncul di kepala, semuanya menjadi batu.

"Apa yang kau pikirkan?", diremahnya ingatan itu.

Waktu adalah tiran, itu yang ia dengar dari seseorang. Terkadang ia ingin berlari melompati satu dari sekian fase yang rasanya menyakitkan. Ada hal-hal yang rasanya begitu memuakkan sampai-sampai menjalaninya adalah pesakitan.

"Berhentilah berdatangan!", matanya mulai membelalak di depan cermin sebuah lemari. Ia benci mengingat. apalagi mengingat kepedihan. Baginya penyesalan adalah jamban. Tempat membuang segalanya yang tak indah. Secara otomatis ia menyadari bahwa apa yang ia masukkan ke dalam sana akan bermanfaat pada tahap lain yang ia tak perlu tahu.

"Tapi kamu tak butuh jamban!"

"DIAM!" sergahnya kemudian.

Tiba-tiba ponselnya berdering samar. Fokusnya pecah. Ia mencari-cari sumber suara yang sebenarnya telah lama dinantikan. 

KREEK. suara pintu lemari terbuka, ponselnya tergeletak di sana.

Di dalam lemari, tak ada lagi suara, dan segalanya mulai meyusun kematian sendiri-sendiri



Desember 2011

Minggu, 20 April 2014

Walk In Interview, Apa ini?

Apa perbedaan antara interview dan walk in interview? Bedanya, interview selalu diawali dengan proses agak lama sejak penyerahan berkas lamaran. Hanya kandidat terplilih dari seleksi berkas yang akan menjalani interview. Sementara walk in interview tidak disertai proses yang bisa makan waktu berharihari bahkan bermingguminggu tersebut. Dalam walk in interview, peserta datang membawa cv dan langsung hari itu juga diinterview. Jadi, walk in interview bisa menyita waktu seharian. Berikut ini ada beberapa saran bagi yang akan menjalani interview walk in.

  1. Datanglah minimal 1 jam sebelum jadwal dimulai supaya bisa dapat nomor antrean yang pangkal. Kecuali bisa dapat teman ngobrol dan sedang gak ada agenda lain, berada di antrean belakang itu betulbetul buang waktu. 
  2. Bawa air minum dan cemilan secukupnya. Bawa juga alat sholat sendiri supaya gak masuk dalam antrean lain di mushola kalau pas dapat giliran interview siang.
  3. Gunakan outfit formal sederhana, tampilan yang "berlebihan" kadang hanya akan mengundang cibiran. Ingatlah bahwa sebelum keluar dari ruang interview, semua peserta berstatus sama.
  4. Khusus perempuan, hindari high heels karena hanya akan menyiksa diri sendiri. 
  5. Ambil peluang untuk menyapa, minimal senyum duluan ke orang lain. Percayalah, gak ada satu pun 'orang' yang siasia dalam hidup kita, meski oranggila sekalipun. Mereka pasti messenger dari Tuhan yang akan memberi kita pelajaran baik sekarang atau di masa depan. Dapatkan sebanyakbanyak teman baru, dan jangan lupa, minta kontak personnya.
  6. Jaga sikap, jangan ngomong seenak jidat terutama di area yang rentan petugas/karyawan setempat.
  7. PERCAYA DIRI tapi jangan sampai tinggi hati.

Minggu, 06 April 2014

RELAwan?

Prolog: Saya sedang mencari pekerjaan? Salah! Saya mencari Kesibukan yang Resmi #KR itu baru betul. 

Suatu hari seseorang menawari apakah saya mau menjadi salah satu relawan Pemilu tanggal sembilan April 2014. Sontak saya bilang, "Mau sih. Tapi kemungkinan tanggal segitu aku gak di rumah. Barusan dikabari salah satu perusahaan tentang sinyal positif. Kalau aku tetap daftar tapi nanti gak jadi ikut, bermasalah ga?"

Dia jawab," Ya daftar aja dulu. Nanti ada upahnya Rp 100.000." katanya sambil menyodorkan formulir pendaftaran dan pergi. 

Kalau boleh jujur, saya merasa terhina dengan informasi mengenai upah itu. Tapi sudahlah, memikirkan halhal yang sifatnya "pemanis tambahan" sering jadi awal buruk dalam pewujudan niat baik. Formulir saya lengkapi dan saya serahkan langsung ke ybs.

Waktu bergulir dan sinyal positif itu belum juga jadi kenyataan sampai waktu menjelang masa pencoblosan. Saya pun bertanya, sebab tak ada pula gaung lanjutan dari hal relawan itu.

"Relawannya gimana?"

"Gak jadi. Gaada duitnya. Dibatalin semua." Jawaban itu muncul dalam ekspresi datar yang cenderung kecewa. Saya hanya ber"oh".

Di hari yang lain, seseorang yang punya kewenangan lebih mengenai birokrasi desa menanyakan sesuatu.
"Kemarin daftar jadi relawan pemilu ya?"
"Iya. Tapi katanya gak jadi kan..."
"Ya gimana. Namanya relawan kan tetap butuh uang transport."

Sejenak saya terdiam menghentikan aktivitas saya. Kalau saja dia tak berusia sepantaran orangtua saya, pasti sudah saya sembur dia dengan kejengkelan. Tapi saya akhirnya justru mengatakan,

"Mungkin terlalu banyak yang daftar sebagai relawan. Lagi pula, yang namanya R E L A wan itu ya mestinya kan nyatanyata rela melakukan sesuatu untuk oranglain secara ikhlas tanpa pamrih."

Satu yang saya ingin tanyakan, apakah fenomena "RELAWAN" macam ini hanya terjadi di Indonesia atau negara lain juga? Sebagaimana kasus "Kampanye Uang" yang marak terjadi jelang Pemilu, saya percaya bahwa masyarakat bukanlah inisiator dari kebusukan ini. Adanya kondisi dan situasi di bawah ratarata secara finansial menjadikan mereka yang punya kepentingan dan kekuasaan telah mendidik orang awam untuk selalu jadi seperti lemari soft drink yang baru akan terbuka saat dijejali koin. 

Ada perubahan raut wajah dari orang itu setelah mendengar pernyataan saya. Agar suasana tak jadi rusak, dia menambahkan,

"Bisa jadi. Sebetulnya ya gak batal. Hanya dikurangi. Semula direncanakan ada relawan di tiap Tempat Pemungutan Suara #TPS jadi hanya terbatas dua orang tiap desa."

Pertanyaan yang Entah Kepada Siapa

*Jrengjreeeng, Mbak Lin, tulisan ini rasanya kayak tonjokkan ke saya sendiri. Apalagi waktu itu di bagian akhir saya mengajukan pertanyaan yang sebetulnya saya pun gak tahu pertanyaan itu ditujukan ke siapa O:
Tapi, lagilagi opini Mbak memberi penjelasan tambahan pada opini saya sebelumnya: "Secara garis besar, saya setuju dengan semua pendapat para penulis. Kita memang memerlukan berdirinya suatu FIB di PTN Lampung karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Dus, kita perlu juga memikirkan bagaimanakah blueprint FIB idaman kita ini. Mau yang bagaimana, apa-apa saja. Ya, semua itu patut dicetakbirukan dulu supaya apabila FIB sungguh terwujudkan—FIB tersebut mampu mengejawantahkan seluruh harapan yang telah kita tanamkan kepadanya."

Opini | Lampung Post, Sabtu, 5 April 2014

Menakar Peluang FIB di Unila
Karina Lin
Pengamat sosial-budaya, tinggal di Bandar Lampung

MENARIK dan seru! Itulah kesan yang saya tangkap ketika mencermati rubrik opini di surat kabar Lampung Post yang bertemakan wacana mendesak pendirian fakultas ilmu budaya (FIB) di Universitas Lampung (Unila). 

Dalam sebulan ini, tiga opini yang bertemakan mendesak pendirian FIB di Unila ditampilkan di Lampung Post. Artikel opini ini ditulis Hardi Hamzah (3/3), Dina Amalia Susamto (15/3), dan Destaayu Wulandari (20/3).

Secara garis besar, saya setuju dengan semua pendapat para penulis. Kita memang memerlukan berdirinya suatu FIB di PTN Lampung karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Dus, kita perlu juga memikirkan bagaimanakah blueprint FIB idaman kita ini. Mau yang bagaimana, apa-apa saja. Ya, semua itu patut dicetakbirukan dulu supaya apabila FIB sungguh terwujudkan—FIB tersebut mampu mengejawantahkan seluruh harapan yang telah kita tanamkan kepadanya.

Satu hal lagi yang tak boleh luput, yakni mengenai peluang FIB tersebut sungguh-sungguh berdiri. Bagaimana dan seberapa besar peluang FIB berdiri di Unila? 

VdT sebagai Katalisator

Arman A.Z., seorang peminat sejarah kelampungan yang tinggal di sini, pernah menulis mengenai kamus bahasa Lampung karya Herman Neubronneer Van der Tuuk (Vdt). Kamus ini, kata Arman (Lampung Post, 19 Februari 2014), merupakan kamus bahasa Lampung pertama (tertua) untuk ukuran kebahasaan Lampung. Kamus ini selama satu setengah abad tersimpan baik di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dan baru pada Februari 2014 lalulah kamus tersebut “dipulangkan.”

Jumat, 04 April 2014

Opini Tanggapan

Tulisan saya tempo hari yang bermula sebagai tanggapan atas opini seseorang sebelumnya, kini mendapat tanggapan dari orang lain.  Bang Andre Saputra, poin ini, saya suka dan ini sebetulnya yang ingin juga saya sampaikan dalam artikel sebelumnya. Walaupun masih jauh dari kata sempurna, senang rasanya mendapat tanggapan dan bahkan 'maksud'nya ditangkap dan diperjelas. Semoga apapa yang sudah dan akan lahir sebagai opini bisa makin mempermudah proses pelahirhadiran FIB di Lampung. Ini kalimatnya: "sehingga kebudayaan Lampung kelak di FIB menjadi kajian yang menarik bila dikomparasikan dengan budaya di luar Lampung

Opini | Lampung Post, Jumat, 4 April 2014

Harmonisasi Empiris dan Teoretis
Andre Saputra
Pengamat budaya, tinggal di Bandar Lampung

ANTISIPASI Destaayu Wulandari (Lampost, 20 Maret 2014) terhadap opini Hardi Hamzah, Urgensitas FIB di Unila (Lampost, 14 Maret 2014), sungguh menarik. Penulis menangkap, Hardi Hamzah lebih mendahulukan empiris, sedangkan Desta menekankan pada science. Keduanya tidak ada yang salah. Hardi tidak keliru karena ia melihat urgensitasnya, Desta lebih berhati-hati karena menginginkan epistemologi didahulukan, dan penulis anggap Desta lebih induktif pendekatannya.

Menurut hemat penulis, bila dosen yang diambil adalah mengutamakan empiris, ini semata karena Bung Hardi ingin FIB, berdiri sajalah dulu. Sementara Desta lebih melihatnya sebagai usaha membangun fondasi FIB, harus dengan kerangka dan sistem yang terencana dan teoretis. Penulis katakan keduanya tidak ada yang keliru, mengingat kalau merujuk ke Desta, bisa saja kita mendapatkan dosen terbang yang qualified.

Hardi ingin sesegera mungkin karena sulitnya mendapatkan dosen, walaupun hal ini sumir, penulis lebih ingin melihat adanya harmonisasi antara empiris dan epistemologi sains sosial. Artinya, kita mulai sajalah dulu, lalu formulanya akan terumus, dalam arti kalau sudah dimulai dengan dasar keberanian menafikan sarjana (baca S-1 empiris), kelak segala sesuatunya menyusul, seperti mendatangkan dosen tamu, dosen LB, dan lain lain yang keduanya bervisi sama, FIB segera saja dimulai.

Dalam konteks lain, secara substansial, penulis justru tertarik bila FIB didirikan, kelak FIB lebih memprioritaskan pada aspek antropologi budaya, meskipun tidak harus melupakan antropologi ragawi sebagai instrumen lampunologi. Toh, dulu pada dasawarsa 1980-an, UGM memasukkan Fakultas Antropologi di Fakultas Sastra. Ini artinya, sudut pandang atau subject matter-nya beresensi pada sosiologi perilaku, katakan demikian.

Tawaran antropologi budaya lebih diprioritaskan karena indikator budaya Lampung akan lebih impresif bila ada esensi pembuktian antropologi sehingga kebudayaan Lampung kelak di FIB menjadi kajian yang menarik bila dikomparasikan dengan budaya di luar Lampung.

Antropologi budaya juga simultan merespons usaha-usaha merekatkan antara, pencarian tentang fakta-fakta kelampungan, pun juga sebagai rujukan atau kompromi terhadap disparitas sosial Lampung yang multietnik. FIB kelak, menurut hemat penulis, mampu menjadi sentral kegiatan antarkebudayaan dan arkeolog dalam dimensi antropologi tadi.

Mengingat variabel budaya sebagai postulat ide cemerlang dan gagasan yang hidup serta kesejarahan yang bermakna perspektif. Oleh sebab itu, bila FIB menekankan pada antropologi sosial, selain tentu tidak menafikan ruh FIB yang mempunyai premis-premis dasar tersendiri.

Lebih lanjut, bila aksentuasi pada antropologi budaya, kelak kita akan sampai pada diskusi tentang, adakah peninggalan Lampung yang sophisticated, misalnya saja, misteri kerajaan Tulangbawang, tidak akan berhenti pada Megow Pak saja, tetapi FIB bisa menjadi penerang bagi pencarian nilai-nilai budaya dan kesejarahan.

Walaupun penulis memahami atau lebih tepatnya memaklumi, fakultas ilmu budaya adalah fakultas yang mengandung banyak variabel penting, baik secara teoretis, apalagi secara empiris. Harmonisasi antara teoretis dan empiris, seperti yang penulis ajukan di atas, semata-mata untuk mendorong kekuatan FIB dalam implementasinya karena tidak mungkin FIB Unila di tengah multietnik akan berada di ruang hampa.

Vacum space, hanya bisa terjadi bila, pertama, FIB hanya mengkristalkan teori. Kedua, bila dosennya merupakan dosen sisa, dalam arti FIB mendapatkan dosen S-2, tetapi energinya sudah terkuras di tempat lain, ini soal administratif tersendiri.

Namun, kalau FIB mau tidak mau akan mengalami hal di atas, tentu FIB membutuhkan stimulasi empiris dari staf pengajarnya. Emha, misalnya, budayawan yang hanya empat bulan di Fakultas Ekonomi UGM itu, mumpuni sekali untuk mengisi ruang hampa itu, selain yang telah disebut Hardi Hamzah pada opininya.

Ekslarasi berdirinya FIB, seyogianya tidak terjebak pada pemikiran birokrat atau menara gadingnya kampus, tetapi cobalah, semangatnya lebih praksis tanpa harus meninggalkan kaidah dan hakikat dasar berdirinya FIB. Ini ingin penulis tekankan, mengingat sering kita terperangkap dengan birokrasi, administrasi, dan yang lainnya sehingga FIB bisa saja sampai sepuluh tahun lagi tidak berdiri, ini tentu tidak kita harapkan.

Penulis menyadari, dua opini Hardi Hamzah dan Destaayu Wulandari merupakan respons positif, tetapi lebih patut disadari lagi mengaktualisasikan FIB setelah berdiri di dalamnya harus ada rajutan-rajutan pemikiran esensial, baik tentang kelampungan itu sendiri maupun kepiawaian dosennya untuk masuk ke suasana kebatinan multietnik, sehingga dinamika yang ada di FIB kelak mampu mengembangkan realitas sosial yang ada.

Ulasan Film The Raid 2: Ketika Ambisi Memutus Akal Sehat

Baru-baru ini Metro Tv memberitakan bahwa film “The Raid 2: Berandal” dilarang diputar di Malaysia. Saat diberitakan, belum ada alasan jelas mengenai pencekalan tersebut. Di sisi lain, seorang produser film Mengejar Setan yang juga ketua Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) menyampaikan kekecewaannya karena pemerintah memberikan apresiasi terhadap film yang kaya akan muatan kekerasan itu. Dalam kutipannya, ia mengatakan, “Pemerintah selalu menuntut PPFI dan anggota di dalamnya memproduksi film yang berisi kebudayaan, pendidikan, dan kearifan lokal lain. Namun, tidak ada apresiasi. Kalau memang lewat kekerasan, tinggal saya bilang sama anggota untuk bikin”  (Lampost, 3/3/14).
Pertama saya ingin menanggapi pelarangan pihak Malaysia. Bagi yang  telah menonton film ini, tentu masih mengingat bahwa ada scene tentang kebudayaan Indonesia yang ditampilkan yaitu Reog Ponorogo. Saya menduga, negara yang sedang terbentur masalah tragedi pesawat hilang itu hanya “tengsin” karena ternyata Indonesia telah berhasil menyampaikan pada dunia bahwa Reog ada di Indonesia meskipun Malaysia pernah mengklaim bahwa itu kebudayaan mereka. Entahlah.
http://www.imdb.com/title/tt2265171/?ref_=rvi_tt
Kemudian, mengenai kekecewaan ketua PPFI. Jujur, di awal artikel saya sempat termakan dan setuju dengan argumennya, tetapi saat di akhir disampaikan bahwa dia adalah seorang produser dari film yang saya belum menonton tapi tayang hanya sebentar di bisokop, seketika apa yang telah ia paparkan jadi subjektif. Ya, lewat film The Raid 2, bagi yang mengenal Indonesia, mungkin akan agak terkaget-kaget sebentar. Bahwa Indonesia terlepas dari adanya keterlibatan negara lain—yang mungkin juga punya maksud lain dalam film ini—bisa menghasilkan film keren. Tapi setelah kekagetan itu, saya pikir penikmat film tidak lagi peduli pada hal-hal di luar ketakjuban dan apresiasi.
Saat menonton film-film Hollywood—dalam hal ini patokannya memang Hollywood—apakah hujatan terhadap negara pembuat film itu penting? Kecuali mengandung SARA, saya pikir, sama dengan sastra yang tak jarang memutarbalik fakta, nilai, dan norma, film juga suatu karya yang ketika ia dilempar ke masyarakat, maka ia menjadi sesuatu yang otonom, lepas dari segala keterikatan penulis, produser, sutradara, apalagi negara asal. Setelah produksi selesai, maka tugas selanjutnya ada pada audiens untuk mengapresiasi dan mengkritisi.
Saya akui, kekerasan yang disajikan dalam film The Raid 2 memang telah mencapai taraf ‘sadis’. Film sadis yang terakhir saya tonton adalah “The Pianist” yang digarap Roman Polanski tahun 2002 tentang kekerasan pada bangsa Yahudi. Seringnya penggunaan benda dan senjata tajam serta proses ‘pembunuhan’ yang selalu brutal membuat film The Raid 2 lebih mengerikan dari film horor. Bahkan saat menonton film ini, intensitas menutup mata dengan beberapa jari tangan jauh lebih tinggi ketimbang saat saya menonton film-film horor seperti Insidious, The Shelter dan Mama. Kengerian dalam film ini sungguh di luar ekspektasi sebagai orang Indonesia yang dikenal sebagai bangsa sopan. Atau jangan-jangan, melalui film ini, penggarapnya ingin menyadarkan bahwa sebetulnya sekarang sifat-sifat baik bangsa ini sudah tidak lagi seperti yang dulu begitu lekat. Nah lo.  
Hanya saja, penonton yang objektif, akan melepaskan hahal eksplisit bersifat pemanis dan justru masuk ke ranah implisit yaitu “nilai” dan pesan moral. Nilai positif yang saya dapatkan antara lain etika balas budi serta hubungan kekeluargaan. Bahwa seorang berandal, pembunuh sadis sekalipun, mereka tetap mengutamakan keluarga. Adegan-adegan di mana para tokoh yang juga seorang Ayah merindukan anak adalah bagian yang cukup berkesan di antara cucuran darah yang mengalir saat pembantaian. Apalagi, selain menampilkan salah satu kebudayaan Indonesia tadi, film ini juga memperkenalkan tentang hal-hal unik negeri ini yaitu tempe, bahasa gaul “elo gue”, dan seni bela diri.  
Termasuk ada juga kritik terhadap pemerintahan Indonesia. Suatu karya, sastra dan fiksi tidak lahir dari kekosongan, pendapat ini berlaku di sini. Ingatkah pada scene saat terjadi mediasi antara kelompok Indonesia dan Jepang yang tersandung konflik karena ada pihak lain yang ingin merebut wilayah kekuasaan mereka? Ada kesan, tokoh yang ditunjuk sebagai mediator adalah pemimpin Indonesia. Lebih jauh, pada bagian ini saya menangkap sindiran mengenai para penguasa negara yang suka sembarangan memperjualbelikan wilayah Indonesia secara sepihak demi keuntungan pribadi.
Ada dialog yang saya ingat begini, “Kita serahkan Menteng dan Sabang buat mereka”. Seolah negara Indonesia adalah milik pribadi yang bisa ia perjual-belikan seenaknya. Orang Indonesia mestinya paham masalah ini.  Ambisi, inilah tema besar yang disebarkan sepanjang film. Gara-gara ambisi, seorang anak sampai hati menembak kepala ayahnya di depan banyak orang. Ambisi juga bisa menguatkan seseorang meninggalkan keluarganya. Dan yang terparah, mengorbankan bangsa sendiri.
Di samping itu, saya dapatkan juga beberapa anomali atau hal di luar nalar dalam film The Raid 2. Pertama adalah latar salju. Dunia tentu tahu bahwa Indonesia adalah negara yang tak mengenal musim di mana salju akan turun. Jika bukan disengaja agar mendapat “perhatian” penonton, tentu ada pertimbangan lain yang melatarbelakangi keputusan dari penggarapnya. Yang jelas, latar salju itu membuat film semakin dramatis karena darah yang merah pekat yang mengucur tumpah di atas salju yang berwarna putih. Kedua, bagaimana tokoh utama bisa bertahan dalam pertempuran hebat menghabisi seluruh “penjahat” termasuk kelompok Bejo. Padahal saat diminta datang untuk menolong, ia sedang mengerang kesakitan karena baru saja selesai bertarung menghadapi serangan di taksi di mana tubuhnya terluka karena terkena benda tajam.
Namun, kembali pada ketua PPFI tadi, poitnya tidak terletak pada tema kekerasan atau bukan. Sebagai orang yang awam dengan sinematografi, saya sangat percaya bahwa sebuah film akan menemukan penontonnya masing-masing. Jadi, apresiasi tak bisa dibeli dengan apapun kecuali ‘kualitas’. 

***Saya pernah menyesal, karena sebelum menonton film The Raid sequel pertama saya terlanjur mendjudge bahwa film itu buruk dengan muatan kekerasan, nyatanya, setelah menonton di laptop dugaan saya langsung hambar tertutupi oleh dahsyatnya sound system. Jangan sampai kamu kelewatan menikmati sensasi sound bioskop ya! :) Grab the ticket now! Durasinya dua setengah jam, tapi gak akan terasa lama. Kecuali pas kamu bayar biaya parkir yang tiga kali lipat lol