Laman

Sabtu, 22 Februari 2014

Diari Anas Urbaningrum dalam Rutan (?)

Saya baru saja menemukan sebuah tautan di facebook, karena penasaran saya pun membacanya sampai habis. Kebenarannya jujur masih sangat saya ragukan. Entah itu hanya ilustrasi dari pihak2 tertentu yang pro Anas atau justru sindiran dari pihak yang kontra pada dia. Apalagi tulisan tersebut dimuat hanya di sebuah web blog. Yang jelas itu saya cukupkan sebagai pengetahuan umum. Dan di bagian akhir, ada yang menarik perhatian saya. Begini bunyinya:
"Sabar saja, Pak Anas. Nasib kita sama," begitu nasihatnya.Dia menjelaskan, maksudnya sama-sama sepi, tak ada hiburan, tak ada tontonan. Bedanya, dia menjaga, saya dijaga. Sebagaimana petugas yang lain, jatah jam jaga adalah setengah hari alias 12 jam. Tugas Amir hari ini akan berakhir pagi nanti jam tujuh.

Saya sabar mendengarkan dia bercerita tentang sejarah politik dan kerajaan zaman dulu. Dengan fasih, dia menjelaskan naik-turunnya kerajaan-kerajaan di Jawa, sejak Tumapel, Singosari, Kediri, Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Datang dan perginya raja-raja Jawa itu dia jelaskan dengan terperinci mirip guru sejarah. Menarik karena wawasan sejarahnya cukup bagus. Saya hanya khusyuk mendengarkan sembari kasih komentar tambahan sedikit-sedikit.

Inti dari sejarah politik kerajaan-kerajaan Jawa dulu adalah politik “bumi hangus”. Setiap pemenang selalu menghancurkan yang dikalahkan. Kerajaan diluluhlantakkan dan yang dianggap berharga dibawa pergi oleh pemenang perang. Pusat kerajaan yang kalah diratakan dengan tanah sehingga yang tersisa tinggal kenangan. Jikapun ada, hanya bekas-bekas reruntuhan atau situs yang tak lagi utuh. Politik bumi hangus dan dendam tak berkesudahan hamper menjadi model politik sampai Indonesia memasuki zaman modern.
>> Tautan Diari Anas Urbaningrum dalam Rutan (?)

Rabu, 05 Februari 2014

Solilokui Roh dalam Lagu "Resah" oleh Payung Teduh

Ada yang belum pernah mendengarkan lagu-lagu Payung Teduh? Sayang sekali, padahal band ini merupakan teman tidur dan teman merenung yang seru lho. Dari beberapa yang ada, saya paling suka dengan yang judulnya “Resah” dan “Tidurlah”. Selama ini sudah berapa kali memutar lagu berjudul “Resah?” bagi yang suka banget, barangkali gak terhitung ya. Saya pun gak pernah berniat melakukannya. Seperti malam ini, sama sekali saya gak ada rencana untuk menuliskan hal ini. Bahwa yang sudah-sudah, apa yang saya tangkap dari lagu ini ya hanya sekadar lagu galau. Namun, di putaran kedua, setelah seperti biasa saya terlena dengan lagu yang meresahkanyang sebetulnya hanya memiliki enam larik dasar (enam baris lirik)—ini, saya dapatkan fakta baru yang gak terpikir sebelumnya.

Begini, di empat larik awal sejak 

“Aku ingin berjalan bersamamu dalam hujan dan malam gelap” 
sampai ke 
“tapi aku hanya melihat keresahanmu”, 
ini sekilas memang tampak normal dan biasa saja, sebuah keresahan yang sekilas seperti ditujukan kepada kekasih, seseorang yang dicinta. Tapi ketika masuk ke larik selanjutnya yaitu dua larik terakhir

Aku/menunggu/dengan/sabar/di atas/sini/melayang-layang
Tergoyang/angin/menantikan/tubuh itu

Coba resapi lebih dalam, terutama kata-kata yang bercetak tebal.
Apa yang sekarang terasakan dari lagu ini, masihkah ada kesan “romantis”nya?
Baiklah, sejenak coba kita kembali ke larik-larik awal.

Aku ingin berjalan bersamamu dalam hujan dan malam gelap
Tapi aku tak bisa melihat matamu
Aku ingin berdua denganmu di antara daun gugur
Tapi aku hanya melihat keresahanmu

Singkatnya, saya menyimpulkan bahwa lagu ini merupakan suatu senandika/solilokui/monolog. Bukanlah lagu cinta untuk kekasih melainkan betul-betul sebuah lagu tentang keresahan, tetapi yang ditujukan oleh sebentuk ‘roh’ atau ‘arwah’ atau ‘jiwa’ kepada dirinya sendiri. Bahwa ada seseorang yang seperti telah kehilangan dirinya sendiri. Bisa berarti seseorang itu sudah meninggal, berpisah jiwa dan raganya. Juga dapat pula dimaknai secara konotasi bahwa seseorang telah kehilangan semangat hidupnya. Kehilangan jati dirinya. Bahkan untuk sekadar berdiskusi dengan dirinya sendiri, menikmati kesendirian di malam gelap, di antara daun gugur, menyendiri pun sudah tak bisa. Aku hanya bisa melihat keresahanmu.

Resah-Payung Teduh

Aku ingin berjalan bersamamu dalam hujan dan malam gelap
Tapi aku tak bisa melihat matamu
Aku ingin berdua denganmu di antara daun gugur
Tapi aku hanya melihat keresahanmu
Aku menunggu dengan sabar di atas sini melayang-layang
Tergoyang angin menantikan tubuh itu
Aku ingin berdua denganmu di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu tapi aku hanya melihat keresahanmu