Laman

Senin, 28 Januari 2013

"Koruptor" Menggugat

... tidak tepat jika kita dijadikan lambang koruptor. Ini pelecehan yang tak bisa terus-menerus kita biarkan. Harkat dan martabat kita sebagai makhluk Tuhan jelas lebih tinggi daripada koruptor.

Korupsi, tindak pidana yang satu ini memang tampak kian lekat dengan citra para pejabat negara khususnya Indonesia. Tentu bukan hal baru. Setidaknya aroma busuk ini terendus kuat pasca lengsernya rezim yang dikenal sebagai pemberedel media massa bertahun-tahun silam.

Lalu ingatkah sejak kapan para pelaku korupsi tersebut mulai mendapat julukan khusus yaitu  tikus? Bahkan, mantan penyanyi jalanan, Iwan Fals pernah membuat lagu “Tikus-tikus Kantor” bagi para pencuri berdasi itu. Pernahkah terpikir, di sisi lain para ‘tikus’ mengajukan protes atas kesewenang-wenangan penggunaan nama mereka untuk menjuluki tindakan kotor para koruptor?


Budi Maryono telah memikirkan hal itu. Di dalam kumpulan cerpen (kumcer) Semar Yes, Budi membuat anekdot melalui salah satu cerpen bertajuk “Lambang”. Diceritakan olehnya bagaimana para hewan pengerat--tikus, curut—mengadakan suatu pertemuan untuk menyusun rencana menuntut pembersihan nama baik bangsa mereka. Persis seperti ketika manusia mengadakan rapat untuk membahas suatu masalah bangsa. Namun tentu saja dari sudut pandang para tikus.

Meskipun tema cukup serius, namun kesederhanaan diksi dan dialog menjadikan “Lambang” begitu ringan untuk dibaca. Selain “Lambang” yang memaparkan sudut pandang tikus, Semar Yes juga menyuguhkan “Satria” yang menjadi pembuka istimewa dengan lagi-lagi memandang suatu hal dari sudut pandang berbeda mengenai seorang veteran.

Dilanjutkan dengan cerita tentang bagaimana seorang Bapak diprotes oleh seluruh anggota keluarganya lantaran menutup semua akses informasi hanya karena muak melihat komentar tentang berbagai hal di negaranya. Dalam cerpen “Mual”, Bapak tersebut secara sepihak menjual TV serta berhenti berlangganan koran dan majalah.

Semar Yes sebenarnya adalah judul dari cerpen penutup dalam kumcer yang berisi sepuluh cerpen yang hampir keseluruhannya mengajak pembaca menyimak suatu peristiwa dari sudut pandang berbeda. Dengan demikian, pembaca akan mampu untuk lebih bijaksana dan tidak terbawa arus pemikiran yang sebetulnya belum mutlak benar. Sebagaimana perilaku tokoh Semar dalam cerpen “Semar Yes”.  Tokoh yang selama ini dianggap sebagai penuntun itu justru dibuat tersenyum saat menyaksikan keadaan kacau-balau karena seorang dalang kebingungan mencari di mana keberadaanya.***

Rabu, 09 Januari 2013

Kenapa Yahudi

Musim gugur telah berakhir. Seorang pria berpakaian lusuh akhirnya memberanikan diri untuk keluar dari persembunyiannya selama beberapa tahun. Wajahnya telah ditumbuhi jenggot lebat. Itu menjadikan identitasnya makin tampak selain hidung yang begitu tirus.
Mungkin ialah satu-satunya manusia yang masih bertahan di kota itu. Di antara puing-puing bangunan yang hancur, ia terseok membawa-bawa perut yang teramat nyeri karena kelaparan.

Barangkali masih ada sesuatu yang bisa mengganjal perut, pria itu masuk ke sebuah rumah melalui lubang dinding. Di dalamnya ia menyisir lemari, tong penyimpan makanan sampai kaleng-kaleng yang telah berkarat. Rupanya, Tuhan masih berkasihan padanya. Di antara kaleng-kaleng kosong akhirnya ia menemukan sebuah yang masih tertutup rapat.
Bergegas ia membawa "harta karun" itu ke ruangan lain, loteng rumah. Susan payah ia berusaha membuka kaleng yang bisa jadi makanan di dalamnya sudah kadaluarsa. Prang! Kaleng itu meggelinding dan terhenti tepat di dekat kaki seseorang. Polisi!

Pria itu mematung. Bertahun-tahun ia sembunyi, haruskah tertangkap dengan cara seperti ini?
"Kamu tinggal di sini?"
"Kamu sedang sembunyi?"
"Kamu seorang yahudi?"
"Apa yang kamu lakukan dalam hidupmu?"
"Aku seorang pianis"
Jawaban sederhana itulah yang menyelamatkan nyawanya. Polisi itu kemudian memintanya untuk memainkan melodi dari piano yang ada di rumah. Setelah mengetahui bahwa si  pria memang benar seorang pianis, ia justru menolongnya. Setiap hari ia berkunjung untuk sekadar mengetahui keadaan dan memberi makanan. Hingga waktu bergulir, pianis itu telah kembali pada kehidupan normal dan kembali bekerja di radio.

Berlatar pemerintahan Hitler, "The Pianist" merupakan film berdurasi dua setengah jam tentang penyiksaan yang dialami bangsa Yahudi. Banyak kejadian-kejadian sadis yang ditampilkan untuk menunjukkan betapa tak manusiawinya Hitler terhadap bangsa yang disebut-sebut paling cerdas di dunia itu. Bagi yang cukup awam mengenai tragedi pembantaian tersebut tapi ingin mengetahui lebih jauh, film ini bisa menjadi alternatif.

Peristiwa-peristiwa penuh kekejaman di antaranya adalah seorang kakek lumpuh yang dilempar begitu saja bersama kursi rodanya karena tak mau berdiri. Ia tewas setelah terjun dari lantai 2 sebuah rusun. Selain adegan penembakan yang selalu dilakukan secara jelas ke arah kepala, badan dan kaki, penonton juga bisa melihat bagaimana orang-orang dilindas mobil setelah sebelumnya dipaksa berlari kemudian ditembaki.

Pianis tersebut bertahan. Seluruh keluarga dan warga selingkungannya telah dilenyapkan baik dengan cara dibunuh maupun diasingkan entah ke mana. Ia menjadi saksi hidup atas kejamnya pembantaian terhadap bangsanya. Pembantaian yang hingga kini masih merupakan misteri. Sebuah buku berjudul Kisah Diktator-Diktator Psikopat menuliskan bahwa salah satu sebab dugaan adalah karena gagalnya seorang dokter Yahudi mengobati ibunya. Bahkan Erich Fromn berpendapat bahwa Hitler mengidap necrophilia yaitu mencintai mayat dan hal-hal yang berbau kematian.