Laman

Rabu, 25 Januari 2012

kampung primitif (kah) ini?

*sepertinya perang dan parang memang satu kesatuan, ya.

1:00 am
saya masih belum lelap, mungkin jam ngantuk saya sudah lewat (begitulah biasanya, kebiasaan saat di kos). tapi saya masih terjaga sekarang bukan tanpa alasan. saya terjaga karena sejak tadi ada yang bergemuruh dalam dada, tak tenang memikirkan petaka kecil yang sedang menimpa lingkungan tinggal keluarga saya di kecamatan katibung, lampung selatan ini. saat pukul 21.00 tadi sebuah mobil berkeliling sambil mengingtakan warga agar bersiap siaga karena ada kabar akan ada serangan ke wilayah kami, yang sama sekali tak ada sangkutpautnya.

kerusuhan di sidomulyo hari ini (menurut sumber yang tidak meyakinkan kerusuhan ini sudah berakar sejak lama, seperti juga dimuat dalam kompas.com bahwa ada konflik antarkampung yangmelatarbelakangi kerusuhan kemarin (24/1/2012). bukan masalah kerusuhan lampung selatan yang ingin saya paparkan di sini, melainkan dagelan teman saya beberapa waktu lalu, dan beberapa saat peristiwa ini terjadi.

teman saya, qur'anul hidayat pernah bercanda, saat saya akan pulang kampung ke lampung, ia bilang bahwa asal mula nama lampung adalah "kampung", saya hanya tersenyum kecut menanggapinya. tapi, saat peristiwa ini terjadi kemarin, ia mengulangi guyonannya di grup kami, katanya,
"wah semoga Lampung tak benar benar jadi Kampung.. wkwkwkaaboooor" 
ada pula komentar achmad dwi afriyadi yang mengatakan bahwa tindakan tersebut primitif. ya, saya akui itu memang tindakan primitif.

saya jadi teringat status adik saya yang berusia 17 tahun,

"Kapankh peperangn di negriku ini berahr,setelh mesuji mereda knpa sidomulyo memuncak,peperangan antr penduduk asli(lampung) dg pendatang (bali). dimana rasa persaudaran kalian. betapa sdhny pahlwan kita dlu melhat tngkah laku penerusny seperti ini,
saya benci membicarakan sara, terutama rasis. tapi saya tetap tidak bisa menyangkal bahwa karakter warga pribumi (asli lampung) memang keras. sebagai orang jawa yang lahir dan besar di lampung saya memang sudah paham bagaimana karakter orang sumatra ini. dulu, saat saya SD perang antarkampung masih sangat marak. terutama saat usai pertandingan bola. jika ada yang merasa tidak puas, maka parang yang bicara. ini bukan isapan jempul, ini benar-benar terjadi. untungnya sejak saya SMP tindak primitif tersebut tidak lagi mencuat. kami semua hidup damai sebagai warga pendatang yang sudah nglampungi (istilah njawani).

lalu apa maksud kejadian kemarin? warga yang juga pendatang (bali) membuat keributan dengan warga pribumi (dalam hal ini saya belum tahu kepastiannya mana yang lebih dulu mencari masalah). tapi setidaknya pahamilah bahwa sebagai pendatang (yang mungkin juga telah nglampungi) sebaiknya jagalah kesopanan, ada warga pribumi yang tentunya pantas untuk dihargai dan kita saling menghargai pula. dan yang paling saya muakkan dalam kejadian ini adalah, bahwa pemicu masalah ada para pemuda. orang-orang labil tersebutlah yang membakar arang diperapian.

siang tadi, saat saya dan ayah saya sedang "jalan" tiba-tiba ibu saya menelpon untuk hati-hati karena sedang ada perang di sidomulyo antara orang bali dan orang pribumi, kami diminta berhati-hati karena perang tersebut berlangsung secara kejar-kejaran. ibu saya khawatir saat kami pulang, perang sedang berlangsung di jalan kami pulang. dan nyaris benar. saat kami tiba di desa babatan, jalan lintas sumatra tersebut mengalami kemacetan. saya pikir perang sudah sampai di desa yang bersebelahan langsung dengan desa saya (pardasuka), ternyata bukan.

kemacetan terjadi karena ada pemuda-pemuda labil yang entah apa maksudnya menghentikan paksa truk, fuso dan bis antar propinsi yang menuju ke arah bakauheni (melewati sidomulyo). mereka menghentikan paksa seolah berwenang (bahkan polisi yang ada di lalu lintas hanya seperti orang dungu yang hanya mengatur lalu lintas yang trlanjur macet). para pemuda itu masuk ke dalam bis, entah apa yang ia lakukan (sok pahlawan saya pikir). baagaimana tidak, orang-orang di dalam bis pasti ketakutan mendapati mereka masuk dengan wajah ganas seperti itu.


saya dan ayah saya memilih jalan di tepi, tepatnya di pekarangan rumah warga yang mereka sudah berhamburan keluar. kami memilih melanjutkan perjalanan ke rumah meskipun seorang pemuda berteriak "motor minggir!". saat kami berhasil keluar dari kerumunan, saya melihat seorang laki-laki berdiri dengan parang diselipkan di badan belakangnya.

haaah, melelahkan.
sekarang pukul 1:27. saya sudah merasa lebih tenang, dan insyaallah di luar juga begitu tenang, hening. semoga semua ini sudah berakhir. ohya, ini hanya tindakan segelintir pemuda labil, masih banyak orang-orang waras yang melepaskan diri dari tindakan primitif. dan, ini lampung, bukan kampung!

Kamis, 12 Januari 2012

seperti apakah wajah akhir?

Aku selalu kepayahan. Entah apa yang membuatnya menjadi payah untuk kutuliskan. Setiap kali ingatan tentangmu, kita, muncul di layar mata, aku seperti lupa. Dimana letak akhir yang sepertinya kita sepakati sebulan lalu?

Anggaplah aku yang memang payah.

Di jendela, aku coba mengingat kita yang pernah duduk berdua tanpa apa-apa dan tanpa siapa-siapa. Di atas bangunan 3 lantai yang bahkan sampai sekarang urung selesai, kita pernah mencoba manjadi bodoh, menghitung bintang. Dan akhirnya kau kalah. Kau kalah dan menyerah dengan mengatakan bahwa sebanyak apapun bintang di atas sana, tetap tak akan pernah mampu mengalahkan kekuatan sinar di kedua mataku, tepatnya mata sebelah kanan. Dan aku akan tersenyum mendengar kata-katamu.

Entahlah, di setiap kita menghabiskan waktu seusai hari, mejelang kematiannya, aku memang selalu memilih duduk di sebelah kirimu, tanpa alasan. “Setiap hari harus kita habiskan, sebelum ia mati dan melupakan apa-apa yang ingin kita ingat,” kalimat itu yang sampai saat ini masih juga belum bisa kupahami. “Kalau setiap hari memang akan menemui kematian, berarti usia sebuah kenangan juga Cuma sehari dong?,” tanyaku sambil bersandar di bahumu. Dari situ aku sangat bisa merasakan aroma tubuhmu yang sudah tercemari oleh asap rokok. “Jangan pernah memikirkan nasib waktu, apalagi kenangan. Sebab mereka telah memiliki kehidupan sendiri-sendiri, tanpa harus kita jaga, kita pelihara”.

Matamu terus mengarah ke langit, entah apa yang kau cari di sana. Sedang dari tadi aku memandangi wajamu dari sisi kanan, sambil terus bersandar di bahumu. Ada angin yang selalu sembunyi-sembunyi menguntit kita. Kadang ia berbisik sangat pelan, membujukku untuk berbisik kepadamu, “Aku takut kehilangan, sebab setiap kali kita menyelesaikan hari, aku selalu ingin menghilang darimu. Tak ada yang ingin kuingat, sama sekali.” Sayang, kalimat itu selalu hanya bisa berhenti dalam benakku, dan setelah selesai kuucapkan, kau akan berhenti memandangi langit kemudian mendapatiku tengah memandangimu dari sebelah sini. Sebentar kau membenarkan posisi duduk, membuatku melepaskan sandaran di kepala.

“Sebenernya apa sih yang kamu lihat dari sebelah sini?” kau memegang sebentar alis kananku. Aku melengos, memandang jauh ke depan, ke arah gelap. Pukul 10 malam, kita masih di atas bangunan yang sepertinya memang tak akan pernah diselesaikan. “Aku juga gak tau. Cuma, setiap lagi ngobrol gini sama kamu, ada satu hal yang sebenernya dari dulu pingin aku bilang, ke kamu” aku diam, biasanya ini kalimat yang akan mengakhiri setiap malam yang kita nikmati. Kau ikut terdiam, tepatnya tak mau mengatakan apapun agar tak ada yang berakhir, termasuk waktu. Benar. Sejurus kemudian aku berdiri, mengibaskan bagian belakang rok yang sejak tadi kududukkan di atas batu, di tepian bangunan lantai 3 ini. Kau hanya menengadahkan pandangan ke arahku, tak ingin beranjak.

***

Mungkin malam ini akan turun hujan. Alasan itu kusampaikan untuk menolak ajakanmu mengahbiskan hari di atas bangunan lantai 3 itu. Aku tahu, kau tak akan pernah memaksakan apa yang memang tak kuinginkan. Dan sore itu, kita berpisah di halaman kampus.

Malamnya, sekitar pukul 8 aku sengaja keluar dari kosan menuju bangunan tempat kita biasa berdua membodohi diri. Prediksiku memang salah, tak ada hujan, justru cuaca begitu panas, bahkan aku tak membawa jaket ke sana.

Sunyi, itulah yang hendak kutemui di sana. Tanpa apapun, tanpa siapapun. Sialnya, ketika sampai di anak tangga terakhir, ekspektasiku melebur terbawa angin yang selalu menjadikan bangunan ini dingin. Kudapat kau tengah duduk sendiri, di tepi bangunan lantai 3 ini. Akupun menghentikan langkah, hendak pulang.
“Aku sengaja nunggu kamu di sini” ujarmu tiba-tiba. Rasanya seperti anak-anak tangga itu runtuh, mebuatku tak bisa memilih kecuali berjalan ke arahmu. Memang, selalu ada rindu yang tak bisa kutanggalkan saat berada sedekat ini denganmu. “Kamu aneh beberapa hari ini,” katamu datar, dan dingin. Aku butuh lebih dari jaket untuk mempertahankan diri dari dinginnya angin malam dan ucapanmu itu. Dan saat itu juga kau melepaskan jaket untuk kau berikan padaku, aku tak menolak.

Hening. Aku belum mengucapkan apapun sejak tadi. Kita hanya saling memandangi langit yang sama sekali tak berbintang. Tapi aku yakin ada satu bintang yang tak terlihat, dan sekali saja kita bisa melihatnya,kemudian mengucapkan jumlahnya, seketika bintang itu akan bertambah dan bertambah.

“Bukannya aku memang aneh dari awal ya”

“Iya, aku tahu. Tapi anehmu yang ini beda”

Helaan napasku terdengar begitu jelas di kesunyian semacam ini.
“Aku merasa ada yang salah, dan aku harus segera meyuahi kesalahan ini”
Kau menatapku dari sebelah kiri, mencoba menemukan bola mataku sebelah kanan. Tapi aku memandangi langit sebelah kiri.

Dalam perjalanan yang tak lebih dari 5 bulan ini, aku memang merencanakan sebuah kesalahan. Maka ketika waktunya telah tiba, aku harus jujur dan mengatakan semuanya. Aku tidak pernah berencana untuk mencintaimu sampai selesai, sebab aku akan menyelesaikannya dengan orang lain.

***

Setelah malam itu, jika ada rindu yang menyerang, aku selalu berdiri di depan jendela sambil mebayangkan kita berdua di atas bangunan berlantai 3 di seberang sana.
***
Selesai.
23.08, januari 2012.

Sabtu, 07 Januari 2012

bakal antologi

10.58 pm. jam segitu saya dan 3 orang pria masih bertahan di kampus, tepatnya tangga lantai 2 depan pintu ruang teater fib undip. kami baru saja menyaksikan "lentera senja" oleh sasindo 2010. sebuah pentas drama yang merupakan puncak penilaian dalam mata kuliah pengkajian drama indonesia di semester 3. ada ulasan khusus untuk pentas kalian malam ini.

jadi, awalnya di tangga itu cuma ada saya, achmad, dan mas erwin. tidak ada obrolan khusus di antara kami sampai akhirnya mas pandu keluar dari ruang teater. "mas pandu", sapa saya. dia balik menyapa sambil kami tersenyum. tapi sontak ekspresi senyumnya berubah menjadi tawa antara geli dan kaget ketika mas erwin menyapanya. hha, mereka ini sesepuh kami yang sedang ada di penghujung masa aktif kuliah. sebentar mereka saling sapa dan meledek. "pokoknya kamu harus kejar lulus, win", kata mas pandu. saya hanya tertawa dalam hati. bagaimana tidak, ia menasihati orang yang sedang mengalami nasib yang sama dengan dirinya. jadi kata-kata itu lebih sebagai guyonan saja di telinga saya.

bagi saya, tidak ada yang perlu dilebih-lebihkan pada mereka yang telah ada di penghujung usia kemahasiswaan. mengurus skripsi atau tidak, lulus atau tidak, itu urusan masing-masing, karena setiap orang telah memiliki jalan hidup masing-masing. jika memang mereka telah menemukan kehidupan (yang ternyata mengganggu kuliah), justru itu baik. mas erwin juga bilang bahwa orang yang telah menemukan kehidupannya, dalam hal ini ia mencontohkan mas pandu yang telah nyaman dengan kepenyairannya (dan iapun nampak total menjalani ini), justru lebih baik dari yang hanya mengiris skripsi dan belum tahu akan melakukan apa setelahnya. tapi, jika kembali pada hakikat skripsi yang hanya berupa tulisan, rasanya 'sayang' jika sampai skripsi tidak diurus. menulis skripsi itu sebentar, yang lama adalah mengumpulkan bahan. dan dari beberapa orang yang saya temukan, kendala yang mereka hadapi adalah bukan karena tidak tau akan menulis apa, tetapi karena terlalu banyaknya referensi di kepala yang akhirnya membuat mereka sulit untuk memilah mana yang akan dituangkan dalam tulisan.

mas pandu, mahasiswa senior di fakultas ilmu budaya undip yang kepenyairannya sudah sampai di mana-mana, antologinya sudah beberapa, tiba-tiba membuka topik mengenai bakal antologi puisi yang beberapa bulan lalu saya titipkan untuk diberik kritik (komentar). tetapi karena saya sempat juga menyebutkan kata endorsment, dia mengira saya akan menerbitkan antologi tersebut. memang, saya ada rencana untuk menerbitkan puisi yang saya kumpulkan selama 2009-2011 itu, tapi sepertinya tidak untuk waktu dekat.

alasan saya hanya satu, saya belum yakin dengan apa yang saya tulis. kenapa saya menitipkan draft antologi itu ke beberapa orang seperti Pak Hermintoyo, Galih Pandu Adi, Adi Hariadi, Guri Ridola dan Yori Kayama, itu sebenarnya bukan untuk meminta endorsment (kalo mas pandu bilang, endorsment adalah pengesahan). jujur, niat awal saya adalah meminta kritik, komentar dari serbagai sisi yang nantinya bisa saya gunakan sebagai pertimbangan apakah bakal antologi tersebut akan saya terbitkan atau tidak. sementara setiap kali  bertemu mas pandu selalu bertanya, "kapan akan diterbitkan?", begitu juga achmad. saya hanya tersenyum menjawabnya.

menerbitkan sebuah buku bukanlah perkara sulit, sepertinya. apalagi hanya sebuah antologi puisi. asalkan mempunyai modal untuk biaya cetak dan launching, selesai. sebab antologi puisi tidak bisa disamakan dengan buku-buku yang dijual di toko. seperti yang juga dikatakan mas pandu, antologi puisi itu gak laku di toko buku. jadi, cetak sendiri jual sendiri. untuk modal, kalau memang sudah ada tekad, menabung beberapa bulan rasanya sudah bisa untyk mengatasi masalah biaya. tetapi, masalah saya adalah, saya ulangi, saya belum begitu percaya diri dengan karya-karya tersebut. jadi, kritik dan komentar yang saya pesan dari beberapa nama tadi menjadi penting bagi saya. karena saya bukan penyair, saya hanya menulis. tell is a need, write is alife. so never ending ur live with do nothing
tapi tetep, terima kasih banyak untuk semua pertanyaan dan semangatnya, hhe. semogalah bisa segera terbit, amin.